2. AIR MANIS DI GUNUNG PADANG Di ujung Muara sungai Arau ada sebuah bukit, yang menjorok ke laut. Bukit itu disebut orang Gunung Padang. Dahulu kala di situ terdapat sebuah mata air, yang tak putus-putusnya mengeluarkan air, yang manis rasanya. Beberapa wanita, yang telah menjelma menjadi bidadari, hidup di situ dengan amannya. Konon kabarnya mereka sangat cantik-cantik dan manis-manis, diam dalam istana yang bagus sekali. Jika mereka ingin memperlihatkan dirinya, barulah mereka dapat dilihat dan begitu pula istananya. Anehnya mereka tidak bisa tua dan cacat. Mereka selalu berwajah muda, molek, cantik dan selalu riang gembira. Sekali-sekali mereka memperlihatkan dirinya. Beberapa orang dari wanita cantik itu kadang-kadang muncul dengan melakukan pekerjaan baik di dekat bukit itu. Akan tetapi kehadiran mereka itu tidaklah selamanya membawa kebahagiaan; ada kalanya timbul bencana di desa muara sungai itu. Jika ada seorang anak gadis yang cantik dan jelita, maka sering bidadari-bidadari yang jahat melarikannya. Sampai di istana dijadikannya anak itu seorang tahanan. Kerjanya tidak lain dari membersihkan kamar tidur bidadari-bidadari itu. Seorang janda bernama Mariana, hidup seorang diri di dalam sebuah pondok. Pondok itu terletak di sebelah selatan bukit Air Manis. Untuk nafkah sehari-hari ia bercocok tanam dan memelihara pohon buah-buahan. Selain dari itu di malam hari ia menenun kain dan menjahit pakaian anak-anak. Sebelum bekerja ia harus memintal benang dari kapas. Kemudian benang itu diberi warna kuning, biru, merah dan warna lain yang indah. Karena bagus tenunan dan sulamannya banyak penduduk kota datang menyuruh menjahit dan menyulam pakaian anak-anak. la pandai pula membuat gaya baru yang sangat disukai anak-anak. Kadang-kadang lebih banyak jahitan dari pada yang dapat dikerjakannya. Bekerjalah ibu Mariana di malam hari untuk menyelesaikan mana yang belum dapat dikerjakan siang hari. Pada suatu malam ketika ia asyik bekerja, terdengar olehnya suara mendesir-desir, seakan-akan ada orang berdiri di depan pintu. Dibukanya pintu itu dan enam wanita masuk ke dalam rumah. Diperhatikannya tamu-tamu itu. Tampak olehnya mereka membawa seorang anak yang pingsan. Anak itu didukung mereka ke bilik, lalu dibaringkannya di atas balai-balai. Penjahit itu melompat ketakutan dari tempat bekerjanya. Ia bertanya: "Sudah matikah anak itu?" "Belum," jawab salah seorang dari tamu itu, "dia pingsan." Ibu Mariana segera pergi mengambil obat. Didekatkannya botol yang berisi minyak wangi ke hidung anak itu. Setelah anak itu sadar, Ibu Mariana mendudukkannya dan menanyainya. Sepatah katapun tak keluar dari mulut anak itu. Tidak berapa lama anak itu agak mulai bernapas. Ibu Mariana berkata: "Hai anakku, tidurlah sebentar; tentu engkau segera kuat kembali." Ditinggalkannya anak yang sakit itu. Pemimpin rombongan itu berkata kepada Ibu Mariana: "Hai ibu, dengarkan sebentar. Jika ada orang mengantarkan jahitan kamilah yang menjahit pakaian itu untuk langganan ibu. Kapas yang dibawa untuk dipintal, akan kami pintal untuk ibu. Tentu pekerjaan ibu menjadi ringan. Bagaimana pendapat ibu?" Ibu Mariana diam saja. Kepala rombongan itu berseru kepada kawan-kawannya: "Bekerjalah!" Wanita-wanita itu membersihkan tempat bekerja, memintal benang, menyulam dan lain-lain. Ada yang menggunting kain, ada yang menjahit baju anak-anak. Jadilah pakaian anak-anak yang indah-indah. Kemudian disusun mereka pakaian dan selendang serta kain sarung yang telah siap dengan rapinya. Seluruh pekerjaan itu diperhatikan oleh ibu Mariana dengan seksama Mereka bekerja cepat, teratur dan rapi. Kapas dan. kain yang bertimbun-timbun kini berangsur-angsur habis. Ada pula pakaian baru yang bagus-bagus bergantungan di dinding. Ia berbesar hati, karena hasil pekerjaan wanita cantik itu jauh lebih baik dan bagus dari pada pekerjaannya sendiri. Akan tetapi kegembiraannya itu bercampur keheranan. Sebab cara mereka memintal benang, menggunting dan menjahit tampak gampang benar. Seakan-akan kain itu kain yang paling lunak dan paling bagus mutunya. Lancar benar mereka bekerja. Lipatannya tidak terlalu tebal, tidak terlalu tipis, tidak pula kasar dan seluruhnya rata dan sama licin. Setelah berapa lamanya melihat mereka bekerja, ia meresa letih dan akhirnya tertidur. Sudah tinggi matahari baru ia terbangun. Teringat ia apa yang terjadi di malam hari tadi, lalu melihat sekelilingnya. Selain dirinya sendiri tak seorangpun ada di rumah itu. Wanita-wanita semalam sudah pergi. la menoleh ke tempat tidur, anak gadis itu tidak ada. Tumpukan kain kemarin tak ada lagi, hanyalah kelihatan tumpukan pakaian yang sudah dijahit bagus dan rapi. Yakin ia bahwa keenam orang bidadari itu yang mengerjakannya. Tentu mereka segera berangkat membawa anak yang sakit itu. la berfikir penuh keheranan, karena belum pernah melihat wanita-wanita secantik itu. Yang paling cantik adalah gadis yang sakit yang tidur di ranjang itu. Siapakah gerangan gadis jelita itu? Mengapa ia jatuh pingsan? Mengapa ia tidak berbicara sepatah juapun? Besar kemungkinan tak ada sangkut pautnya dengan kumpulan bidadari itu. la memeras otak memikirkan peristiwa yang aneh itu. Tak dapat ia menduga bagaimanakah sesungguhnya persoalan itu. Setelah beberapa waktu berlalu, sudah terkumpul pula banyak kain yang harus dijahit. Ibu Mariana sangat khawatir kalau-kalau pekerjaan itu tidak selesai pada waktunya. Sebab itu pagi-pagi benar ia telah mulai memintal benang dan menjahit pakaian. Di waktu senja ketika hari mulai gelap dinyalakannya beberapa buah lilin. la bersiap-siap hendak bekerja semalam suntuk. Tiba-tiba terdengar olehnya pintu dibuka orang. Beberapa orang wanita masuk ke dalam, lalu mendekatinya. Sudah itu duduklah mereka sambil berkata: "Hai tukang jahit, agaknya engkau sedang bersusah hati. Barangkali karena banyak tumpukan kain yang harus dijahit. Kami semuanya akan menolongmu! Ayo, kawan-kawan mulailah bekerja!" Selesai mengucapkan kata-kata itu, ke enam wanita itu segera bekerja dengan cekatan. Wanita itu tahu sudah siapa mereka itu. la berbesar hati, karena sebentar lagi pekerjaan itu tentu selesai. Bidadari-bidadari bekerja sampai semua pakaian terjahit, terlipat dan tersusun. "Saya sangat berterima kasih kepada Saudara-saudara yang baik budi!" kata ibu Mariana. Kepala rombongan bidadari itu menjawab: "Alangkah baiknya, jika nanti ibu dapat membuktikan terima kasih itu. Dahulu di waktu malam Ibu telah berjasa sekali kepada kami. Kami tidak dapat melupakan apa yang telah Ibu perbuat untuk kami. Bagi kami gampang sekali menolong Ibu. Siapa tahu, barangkali pada suatu ketika kami memerlukan lagi pertolongan Ibu." Mereka berdiri semua, lalu ke luar menghilang dalam gelap gulita. Pekerjaan menjahit pakaian dan bertenun kain sarung rapi benar hasilnya. Termasyhur nama ibu Mariana di seluruh daerah itu. Tak putus-putusnya ia menerima permintaan menjahit pakaian, menyulam dan bertenun. Bahan yang diserahkan kepadanya makin besar tumpukannya. Anehnya pula, apabila pekerjaan bertumpuk-tumpuk, maka datang ke enam bidadari tadi menolongnya. Di dekat gunung Padang di sebuah desa diam seorang kaya. la mempunyai seorang anak perempuan, berumur dua belas tahun. Bukan kepalang cantik dan manisnya anak itu. Tiap-tiap orang yang melihatnya sukar mengalihkan perhatian dan pandangan dari padanya. Adat istiadat kampung itu, bahwa tiap-tiap orang yang memuja kecantikan seseorang harus mengucapkan: "Alangkah buruknya anak itu!" Dengan demikian akan terhindarlah ia dari bahaya, dilarikan syaitan atau jin. Anak perempuan itu tak tahu maksudnya. Jika ada orang mengucapkan kata-kata itu, maka ia menjadi marah. Ini tak mengherankan, karena ia seorang gadis cantik dikatakan jelek atau buruk. Pada suatu hari seorang kakek memujinya pula dan berkata: "Bukan main manisnya engkau, Upik!" Apakah yang terjadi? Hari itu juga terbang seorang bidadari dari gunung mendekatinya. Malam hari anak itu jatuh sakit, sakit keras tak sadarkan diri. Ibu dan ayahnya bersusah payah mencarikan obat, tetapi anak itu tak kunjung sembuh. Beberapa hari kemudian si sakit itu dibawa terbang oleh bidadari ke gunung Padang. Penggantinya, terbaring di tempat tidur seorang anak gadis lain yang menyerupainya. Anak ini meninggal dunia, lalu dikuburkan beramai-ramai. Setiap orang berduka cita. Kesedihan ibu bapanya tak dapat kita bayangkan. Ayah dan ibu itu yakin betul, bahwa anak merekalah yang meninggal dunia. Hanya seorang yang ahli dalam ilmu gaib, mengetahui keadaan sebenarnya. Puteri orang kaya itu diterbangkan enam bidadari ke rumah tukang jahit, dan dibaringkan di atas balai-balai. "Hai, Ibu, kini kami membutuhkan pertolonganmu!" kata kepala rombongan. Penghuni rumah segera melompat dan mengambil anak itu dipangkuannya. Dikenalnya gadis manis di desa itu. Tidak diperlihatkannya bahwa ia kenal anak itu. Diangkatnya dan ditidurkannya anak itu. Untung benar ia menyimpan obat tidur di biliknya. Tanpa setahu tamu-tamu itu diteteskannya obat tidur ke dalam mulut anak gadis itu. Sesudah tertidur dua belas jam barulah ia terbangun; Keenam wanita itu sedang asyik menjahit pakaian yang sudah digunting. Ibu Mariana berbuat seakan-akan sibuk menyadarkan anak gadis itu. Malam bertambah larut dan ketika hari mulai pagi, anak perempuan itu belum siuman. Wanita-wanita itu mulai berbisik-bisik. Berkata ketua rombongan: "Hai, Ibu, kami harus pergi. Nanti malam kami akan kembali dan tentu ia telah sadar. Jaga baik-baik dan kami akan memberimu hadiah yang luar biasa." "Akan saya lakukan perintah Saudara," jawab ibu Mariana. Wanita-wanita itu segera menghilang. Pagi-pagi setelah cuaca mulai terang, dan matahari mulai bersinar ibu Mariana masuk ke kamar tidur anak gadis semalam. Diciumkannya botol berisi minyak wangi ke hidung anak gadis itu dan anak itupun sadarlah. la bangun lalu berdiri. Dikenalnya ibu Mariana. Diceritakannya, bahwa wanita-wanita cantik itu memberinya obat bius. la tak sadarkan diri dan tiba-tiba ia telah berada di tempat tidur ini. Setelah diberinya makan dan minum serta merasa badannya cukup kuat, ibu Mariana memakaikan anak itu pakaiannya sendiri. Diberinya anak gadis itu topi dan mantel yang dalam. Tak seorangpun dapat mengenal anak itu. Bergegas mereka berjalan menuju rumah orang tuanya. Ibu Mariana menceritakan kepada ayah dan ibu anak perempuan itu apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Mereka sangat bergembira dan sangat berterima kasih kepada penolong anaknya itu. Ketika ibu Mariana pulang, ia berpikir-pikir, apakah yang harus dikatakannya kepada ke enam bidadari itu bila mereka datang mengunjunginya. Baik kukatakan bahwa anak gadis itu telah sadar dan pulang ke rumahnya. Setiba di rumah duduklah ia berdiang dekat tungku yang panas, karena hari dingin. Hujan sedang turun dengan lebatnya. Karena amat letih iapun tertidur. Malam itu tidak ada yang terjadi. Begitu pula malam ke dua, malam ke tiga, sampai seminggu, sebulan tidak muncul-muncul bidadari itu. Pada bulan ketiga ibu Mariana yang baik budi duduk menjahit pakaian. Asyik benar ia bekerja dan tak teringat lagi kepada bidadari-bidadari ajaib itu. Banyak pula kain yang harus dijahit. Karena sudah mulai gelap dipasangnya beberapa buah lilin. Tiba-tiba terdengar olehnya palang pintu mulai bergerak dan pintupun terbuka. Ke-pala rombongan yang biasa datang ke tempat itu masuk, diikuti oleh banyak wanita-wanita. Anehnya mereka mengenakan baju kurung dan berselubung sambil menutupi muka mereka. Hanya mata mereka yang kelihatan. Dengan tajam sekali mereka melihat sekeliling rumah. "Hai, kawan-kawan, mari kita tolong wanita yang baik ini!" perintah kepala rombongan itu. Masing-masing melakukan pekerjaan mereka menyelesaikan pakaian yang belum siap. Mereka bekerja dengan cepat, lebih cepat dari yang sudah-sudah. Melihat keadaan yang jauh berlainan dari dahulu, ibu Mariana merasa takut, tapi tidak diperlihatkannya. la yakin perempuan-perempuan itu bermaksud tidak baik terhadap dirinya. la harus waspada. Berkata ketua rombongan dengan kasar kepadanya: "Ibu, hidupkan api besar-besar, dan rebus air! Kami sekarang tidak enam orang melainkan duapuluh lima orang. Ambil periuk besi yang besar dan letakkan di atas tungku itu. Kami lapar dan haus benar." Ibu Mariana hendak menjawab, bahwa tak ada periuk besar. Ketika ia menoleh ke depan tampak kepadanya sebuah periuk baru. Cukup untuk memasak seekor kambing. la heran, mengapa dengan mudah ia dapat mengangkat periuk itu ke atas tungku. Terdengar pula perintah kepadanya! "Tuangkan air sumur ke dalamnya!" Dalam pada itu mereka berbisik-bisik dan tertawa-tawa. Ibu Mariana berbuat pura-pura tidak melihat dan tidak mengerti akan hal itu. Dengan sebuah ember kecil yang ada ia menimba air dari sumur. Dituangkannya air ke dalam periuk besar itu. Sudah sepuluh ember belum juga penuh. Melihat itu kepala rombongan membelalakkan mata serta berseru: "Ayo, cepat sedikit. Makanan dan minuman harus lekas masak dan lekas tersedia. Kalau tidak ibu akan kami rebus!" Segera ibu Mariana pergi ke belakang. Sampai di pintu ia berhenti, lalu ditanggalkannya sendalnya, Perlahan-lahan dengan berjingkat-jingkat, ia kembali ke bilik ruang kerja. Dekat pintu didengarnya baik-baik percakapan mereka, sambil mengintip di celah-celah pintu. Terdengar olehnya seorang dari mereka berkata: "Telah hampir penuh periuk itu. Kita masukkan ia ke dalam. Dia telah mendurhakai kita, tidak mau menolong." Ketika ibu Mariana mendengar bahaya yang akan menimpanya, merangkak ia kembali ke tempat sendal dan ember tadi. Dipakainya sendal itu, pergi ke belakang rumah, lalu memekik sekuat-kuatnya: "Tolong, tolong, ada hantu di rumah saya! Ayo, orang kampung, tolong, tolong ... tolong!" Bidadari-bidadari di dalam rumah mendengar dengan terkejut teriakan-teriakan itu. Ditinggalkannya pekerjaan mereka, lalu berlari-lari ke pintu. Mereka terus melayang keluar menuju ke Bukit Manis secepat-cepatnya dan menghilang. Bagaimana ibu Mariana? la meniarap di tanah karena ketakutan. Orang-orang kampung tidak berani ke luar ketika mendengar pekik yang mengerikan itu. Ketika keadaan sudah sunyi senyap, masuklah ia ke dalam rumah. Ditutup dan dikuncinya pintu erat-erat. Ia duduk di atas tempat tidur, lalu berlutut dan mendoa: "Ya Tuhanku, Yang Maha Kuasa, berilah kekuatan aku menahan pintu itu, jangan sampai dapat dibuka oleh orang -orang jahat." Diambilnya kapak yang tajam, dipukulkannya ke tiang pintu. Baru saja ia selesai berjaga-jaga di dalam rumah, terdengar olehnya bidadari-bidadari tadi berada kembali di muka pintu. Seorang dari mereka mencungkil palang pintu, tetapi tidak berhasil, pintu itu terpaku erat. "Hai, ibu, bukakan pintu," teriak salah seorang dari luar. "Tidak!" jawab ibu Mariana, "nanti kaumasukkan aku ke dalam periuk yang ada di tungku." "Hai, anak kunci, buka, bukakan piatu!" terdengar pula dari luar. "Tidak dapat, tidak bisa!" jawab anak kunci, "saya tidak sanggup!" Bidadari-bidadari itu minta tolong membukakan pintu kepada semua barang yang ada di dalam rumah itu. Baik kapak, kursi, bangku, kumparan benang, kain-kain baju, maupun barang-barang lain, masing-masing menjawab: "Saya tidak bisa bergerak dan tidak kuasa!" Karena bidadari-bidadari tak dapat masuk, timbullah keberanian ibu Mariana. Dengan lantang ia berseru: "Hai! Wanita-wanita jahat, kalau kalian tidak enyah dari sini, saya mohonkan kepada Illahi, agar kalian segera dijadikan batu. Guna membalas kebaikan Saudara kepada saya selama ini, maka saya persilakan Saudara-saudara berangkat dengan baik dan selekas-lekasnya. Janganlah datang lagi mengganggu kampung yang baik dan aman ini!" Ancaman itu berhasil, bidadari-bidadari itu mengakui kesalahan dan kekalahannya. Diam-diam berangkatlah mereka meninggalkan rumah itu. Semenjak itu tidak pernah lagi terdengar dan terlihat wanita-wanita cantik di puncak bukit Gunung Padang itu. Hanyalah sekarang masih ada pancuran air manis, yang mana airnya berasa seperti air biasa saja, tetapi namanya tetap "Air Manis". ============================================ Ebook Cersil, Teenlit, Novel (www.zheraf.net) Gudang Ebook Ponsel http://www.ebookHP.com ============================================